Searching...
03/01/11
15.31

Biodiversitas Indonesia menuju krisis

Kata-kata "Save Our Earth" mungkin sudah sering kita lihat dan dengar, baik di media, jalanan, pusat perbelanjaan atau di tempat-tempat umum lainnya. Meskipun begitu, apakah kita telah merasakan akan pentingnya bumi bagi kehidupan kita ? tampaknya masyarakat kita tidak berubah bila hanya poster atau spanduk saja yang dipamerkan tapi perlu tindakan nyata terhadapa isu tersebut.

Sekarang tahukah kita semua, tahun 2010 ini telah dijadikan sebagai tahun kampanye pentingnya biodiversitas oleh PBB. Mungkin sebagian dari kita masih asing tentang hal itu atau malah sebaliknya. Secara sederhana biodiversitas dapat kita artikan sebagai keragaman berbagai kehidupan di muka bumi. Sedangkan menurut World Wildlife Fund (1989) biodiversitas didefinisikan sebagai jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, termasuk gen yang dimiliki, serta ekosistem yang dibangunnya menjadi lingkungan hidup. Mengapa isu keanekaragaman hayati menjadi penting saat ini ? Kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi secara cepat diindikasikan sebagai faktor utama hilangnya habitat dan ekosistem mahluk hidup yang berakibat punahnya beberapa spesies biologi. Kerusakan lingkungan secara cepat membuat dunia berada dalam krisis biodiversitas. Jika lingkungan, terutama ekosistem tropis, terus-menerus dihancurkan, dalam seabad bumi akan kehilangan setengah spesiesnya (Kompas, 5/6).

Sejarah mencatat, bumi telah melewati lima kepunahan yang terjadi secara fisik (bencana alam dan perubahan iklim). Kepunahan terakhir terjadi pada Zaman Cretaceous, dimana fauna seperti dinosaurus menghilang. Pada saat itu, bumi kehilangan hampir dua per tiga spesies yang ada. Saat ini, kita sedang menuju kepunahan yang keenam, bukan terjadi karena faktor fisik melainkan disebabkan oleh faktor biologis. Dimana salah satu pemeran utama dalam krisis ini adalah homo sapiens (manusia), salah satu spesies di muka bumi yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan endemisitas suatu habitat atau ekosistem biologi.

Beberapa ahli mengungkapkan bahwa terdapat 25 hotspot biodiversitas di muka bumi. Kebanyakan hotspot tersebut berada pada sepanjang garis khatulistiwa. Negara kita, Indonesia adalah pemilik dua dari 25 hotspot tersebut. Hal ini bukanlah suatu keanehan karena Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia. Menurut Kepala LIPI Umar Anggara Jenie, Indonesia merupakan lumbung keanekaragaman hayati dunia. “Pada tiap 10.000 kilometer persegi lahan di Jawa, terdapat 2000-3000 jenis tumbuhan. Pada tiap 10.000 kilometer persegi lahan di Kalimantan dan Papua terdapat 5000 jenis tumbuhan” menurut beliau. Pernyataan Kepala LIPI ini membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara pemiliki biodiversitas tertinggi di dunia. Apakah kita patut bangga dengan keadaan tersebut ? Bila berkata iya, mengapa tindakan kita berkata tidak ? Setiap tahun Indonesia diperkirakan kehilangan sekitar 2 juta hektar hutan hujan tropisnya, belum lagi kerusakan-kerusakan terumbu karang yang terus berlangsung. Padahal jika kita pahami, ke dua hal ini adalah penyebab utama krisis biodiversitas yang terjadi saat ini.

Sebagai negara berkembang dengan jumlah areal hutan hujan tropis yang luas, kita dihadapkan pada dua sisi hal yang menyulitkan. Salah satu sisi, mengharuskan kita terus memperluas areal-areal baru untuk pembangunan dan menampung jumlah penduduk yang terus bertambah, namun disisi lain menjaga lingkungan berarti menyelamatkan anak cucu kita dari kehancuran alam dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Hasil sensus penduduk sementara saat ini memproyeksikan penduduk Indonesia sekitar 230 juta jiwa.

Sudah bisa kita bayangkan betapa cepatnya laju penduduk kita, dan betapa banyak areal yang akan berubah menjadi daerah pemukiman dan pertanian, yang akhirnya membuat megabiodiversitas kita terus-menerus berkurang dan membuat kita menjadi pelaku utama dalam proses kepunahan mahluk hidup lainnya. Namun, hal yang membuat kita miris, ternyata salah satu faktor utama penyebab kerusakan lingkungan semakin parah adalah maraknya kegiatan ilegal dalam penebangan hutan. Selain itu, lemahnya pengawasan pemerintah, membuat kegiatan ini semakin leluasa bergerak. Tidak hanya penebangan liar, sikap lunak pemerintah terhadap korporasi pertambangan membuat kerusakan lingkungan kita semakin menuju kerusakan yang parah. Banyak daerah bekas tambang yang terlupakan sehingga lubang-lubang besar sebagai lambang kerusakan lingkungan semakin menjamur jumlahnya.

Salah satu usaha pemerintah untuk mengurangi proses destruksi terhadap lingkungan adalah konservasi, namun perlu kita pertanyakan kembali apakah selama ini proses konservasi berjalan dengan benar atau hanya sebuah produk gagal dari pemerintah ? Meskipun bisnis jutaan dolar telah berputar di dalam kegiatan ini, tetap saja tidak maksimal menghalang proses kerusakan lingkungan yang terjadi. Tampaknya, hal ini pula yang menjadi dasar bagi Norwegia memberikan dana 1 miliyar dolar kepada presiden SBY pada saat konfrensi perubahan iklim yang lalu untuk mengubah wajah lingkungan hidup di Indonesia. Semoga uang hibah ini, tidak menguap sia-sia tanpa ada bekas pada wajah lingkungan di negara kita.

Mungkin tulisan ini tidak memberikan banyak solusi dalam kerusakan lingkungan, tapi saya harap tulisan ini mampu menyadarkan kita terhadap keadaan lingkungan yang sedang terjadi. Pernah saya mendengar seorang berkata “Saya tidak suka lingkungan”, dan jawaban saya terhadap pernyataan tersebut adalah bumi tidak perlu manusia yang menyukai lingkungan, tetapi bumi butuh manusia yang sadar akan keadaan lingkungan. Bila kita telah sadar maka segala tindakan dan pikiran kita akan menjadi lebih ramah terhadap lingkungan hidup saat ini.

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!